kafe baca biblioholic | tempat gaul para pecandu buku
Bantu Kami Mewujudkan Surga bagi Pencinta Dunia Baca dan Tulis di Makassar!

Saya selalu membayangkan surga itu seperti perpustakaan.
(Jorge Luis Borges)

Agar bisa menjadi ‘surga’ bagi pencinta dunia baca-tulis di Makassar, kami membutuhkan uluran tangan dari Anda. Saat ini kami membutuhkan relawan dan donator. Selengkapnya, silakan baca di sini!
Hadiah di Bulan Cinta

Sejak berdiri pada tanggal 13 Mei 2004 Kafe Baca Biblioholic, lembaga literasi non-profit anggota Komunitas Ininnawa, yang dikelola secara sukarela oleh beberapa relawan ini terus berbenah diri. Di Februari, bulan penuh cinta ini, kami akan memberikan kepada Anda dan menerima dari Anda sejumlah hadiah. Mau tahu hadiah apa saja itu? Baca di sini!
Yang Seru Mulai Maret 2009

Setelah mengalami pembenahan manajemen di awal tahun 2009 ini, kami akan kembali meluncurkan beberapa program yang akan berjalan mulai Maret tahun ini. Program apa saja? Silakan baca lebih detail di sini!

Monday, April 23, 2007

Biblioholic dan Kampanye Baca


oleh Karno B Batiran

TENTU saja kita harus berusaha keras (yang tentu sangat sulit) mendorong anak-anak kita untuk beranjak dari depan layar televisi yang menawarkan beragam program-program yang sangat digandrungi oleh anak masa kini untuk kemudian memelototi buku (data th 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun.)

Sangat menggembirakan saat mendengar pemerintah kota Makassar menggalakkan program Makassar Gemar Membaca, yang berarti telah menunjukkan kesadaran kita akan pentingnya budaya baca untuk membangun masyarakat. Tentu saja kita telah menyadari bagaimana pentingnya budaya baca dalam membangun masyarakat, pun kita tentu saja telah menyaksikan dan merasakan bagaimana budaya baca telah sangat menentukan peradaban umat manusia. Dari sejak berabad-abad lampau ketika bahan bacaan masih diproduksi dengan penyalinan manual (oleh para penyalin naskah di scriptorium) sampai saman revolusi yang terjadi ketika Gutenberg menemukan mesin cetak.

Dalam perjalanan sejarah dunia intelektual indonesia, kita menyaksikan bagaimana bahan bacaan sangat penting dan menentukan, bagaimana perjalanan hidup kaum intelektual dan orang terkenal ternyata sangat dipengaruhi oleh bahan bacaan yang mereka lahap sejak usia remaja. Sastrawan-sastrawan terkemuka seperti H.B. Yassin, Ajip Rosidi, Remy Silado, Rosihan Anwar dan lain-lain, sampai olahragawan seperti Syamsul Anwar Harahap (baca Bukuku Kakiku, Gramedia 2004).

Sangat jauh jika kita mencoba membandingkan bagaimana budaya baca kita dengan negara-negara maju semisal Jepang bahkan sesama negara-negara berkembang di asia tenggara sekalipun (semisal Malaysia dan Philipina).

Tantangan Menumbuhkan Minat Baca

Kita mungkin setuju bahwa untuk membangun budaya baca di masyarakat harus dilakukan sejak usia dini.

Namun, membangun budaya baca saat ini ternyata bukanlah hal yang mudah, kita harus berjuang dan bersaing dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia modern yang serba praktis (dunia digital, internet dan multimedia).

Tentu saja kita harus berusaha keras (yang tentu saja sangat sulit) mendorong anak-anak kita untuk beranjak dari depan layar televisi yang menawarkan beragam program-program yang sangat digandrungi oleh anak masa kini untuk kemudian memelototi buku (data th 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun.).

Juga akan sangat kesulitan untuk mengajak pelajar-pelajar kita untuk menyempatkan waktunya mengunjungi perpustakaan ketimbang chating di warnet. Dan pasti anak kita akan sangat gusar jika mengajak mereka membuka-buka buku ketimbang memencet-mencet tombol toy stick play station. Bahkan di universitas yang sangat akademis sekalipun kita bisa melihat bagaimana mahasiswa-mahasiswanya lebih senang diajak ke mall atau ke bioskop daripada ke perpustakaan.

Mendorong Perbukuan Lokal

Menyadari pentingnya menumbuhkan budaya baca dalam membangun masyarakat dan peradaban itu pulalah yang mungkin mengilhami pemerintah kota untuk kemudian menggalakkan program Makassar Gemar Membaca (meski sampai saat ini gaungnya masih pada aras jargon).

Kenyataanya dibandingkan dengan beberapa kota besar di Indonesia tidak berlebihan mungkin jika dikatakan Makassar masih sangat tertinggal jauh dan butuh proses panjang untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Sebut saja misalnya Jogjakarta yang telah dikenal sebagai surga perbukuan. Selain minat baca memang telah tumbuh yang didukung tersedianya bahan bacaan serta pendukung-pendukung lainnya seperti kemudahan mengurus ijin penerbitan, jaringan distribusi dan kualitas percetakan.

Jadi untuk menumbuhkan budaya baca dan dunia perbukuan lokal memang dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, mulai penulis, penerbit, industri dan pemerintah tentu saja, dalam hal ini pemerintah mencoba menfasilitasi tumbuhnya penerbitan-penerbitan lokal dan industri percetakan sambil kita berusaha merangsang lahirnya penulis-penulis lokal. Untuk tujuan tersebut akan sangat bagus jika didukung oleh kebijakan pemerintah kota, misalnya mau membantu penerbitan-penerbitan buku-buku berkualitas dari penulis-penulis lokal (tidak hanya buku-buku biografi para politisi saat ada hajatan politik semisal pilkada) atau misalnya dengan menyisihkan anggaran untuk memajukan dan mendukung tumbuhnya tempat-tempat baca di makassar (bukan hanya tempat baca yang dipasang di kantor-kantor kecamatan yang aksesnya relatif lebih susah).

Tidakkah ironis jika untuk menerbitkan sebuah buku tentang sejarah Sulawesi Selatan, masyarakat kita sendiri, sebuah penerbit lokal justru dibantu oleh orang-orang berkebangsaan asing, yang justru lebih tertarik terhadap dunia perbukuan lokal kita.

Sumber Daya Lokal

Ada keterkaitan sirkular antara budaya baca dengan ketersediaan bahan bacaan, minat baca tidak akan bisa tumbuh subur jika bahan bacaan tidak tersedia secara memadai, sementara penyediaan bahan bacaan, yang dalam hal ini tentu saja terkait dengan dunia pasar, akan maju jika minat baca bisa tumbuh dengan baik, ini sangat dirasakan terutama di tingkat lokal semisal Sulawesi Selatan/Barat, khususnya Makassar dimana atmosfir akademik yang bisa mendukung dunia intelektual/perbukuan relatif lebih terasa. Kita patut bergembira bahwa usaha penerbitan lokal sudah mulai menggeliat di Makassar, meskipun, tentu saja, masih butuh proses panjang untuk menjadi penerbitan yang mapan. Misalnya penerbitan Ininnawa, Gora Pustaka, Pustaka Refleksi dan lain-lain, namun paling tidak akan merangsang dan mendukung bertumbuhnya budaya baca masyarakat kita.

Saat ini juga sudah mulai tumbuh tempat-tempat baca alternatif selain perpustakaan konvensional, seperti cafe baca dan rental buku (semisal cafe baca Biblioholic, Hitam Putih, Idefix di Tamalanrea, Lontarak di jl. Emy saelan dan beberapa tempat-tempat baca alternatif lainnya). Sepatutnya pemerintah kota mencoba memanfaatkan trend ini, ya tentu saja dengan mendukung dan membantu mereka atau paling tidak membuat program kreatif yang mendayagunakan penerbitan-penerbitan lokal dan tempat-tempat baca alternatif tersebut. Untuk usaha ini perlu usaha yang kreatif dari pemerintah jika tidak mau dikatakan bahwa program gemar membaca itu hanya sekedar program jargon.

Jadi sangat menarik ujaran seorang pengelolah penerbitan lokal yang mengatakan ‘menumbuhkan minat baca tidak cukup dengan hanya gerak jalan santai’ mudah-mudahan pemerintah kota tersinggung dengan ujaran tersebut. Semoga! Kita tunggu kejadian selanjutnya!.(p)